Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 29]
Rabu, 24 Januari 2018

Bismillah.

Alhamdulillah kembali bertemu dalam seri mengenal tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Pada bagian-bagian sebelumnya kita telah membahas dalil pertama yang dibawakan oleh penulis di dalam bab ‘barangsiapa yang merealisasikan tauhid maka dia akan masuk surga tanpa hisab.’

Dalil yang dimaksud adalah firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 120 (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan, selalu patuh kepada Allah, hanif/bertauhid, dan dia tidak termasuk golongan kaum musyrik.” Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama bahwa Ibrahim ‘alaihis salam adalah seorang rasul yang sangat utama, sampai-sampai Allah menjadikannya sebagai khalil-Nya, hal itu tidak lain karena kesempurnaan beliau dalam mewujudkan nilai-nilai penghambaan kepada Allah. Allah menjadikan beliau sebagai teladan bagi manusia karena kemurnian tauhidnya dan pembelaannya kepada tauhid dengan penuh kesabaran dan keyakinan.

Keteladanan Nabi Ibrahim

Ibrahim adalah sosok hamba yang sangat patuh kepada Allah, sebagaimana kita ketahui bahwa Ibrahim melalui mimpinya telah mendapat perintah untuk menyembelih anaknya yatu Isma’il dan Ibrahim pun patuh kepada Rabbnya, dan pada akhirnya Isma’il pun diganti oleh Allah dengan sebuah kambing yang sangat besar dan kemudian menjadikan syari’at qurban terus dijalankan pada umat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh sebuah teladan kesabaran dan keyakinan pada diri nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama putra dan keluarganya.

Ibrahim adalah sosok yang hanif; yaitu selalu condong kepada kebenaran dan tauhid serta berpaling meninggalkan kebatilan dan syirik. Seorang yang hanif adalah hamba yang selalu mengabdi kepada Allah dengan hati dan jiwa raganya sehingga berpaling dari segala bentuk pujaan selain-Nya. Oleh sebab itu ajaran nabi Ibrahim disebut dengan Millah Ibrahim yang hanif. Inilah ajaran yang diperintahkan oleh Allah kepada nabi-Nya untuk diikuti. Inilah hakikat jalan yang lurus; beribadah kepada Allah semata dan menjauhi syirik. Inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada segenap umat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif…” (al-Bayyinah : 5)

Orang yang hanif juga bermakna yang ikhlas dalam beramal. Dia tidak mencari pujian dengan amalnya, tidak mencari sanjungan dan kedudukan, tidak mencari perhiasan dunia dengan amal-amalnya. Akan tetapi ia mencari balasan di sisi Allah, beramal karena mengharap wajah-Nya, tidak mengharapkan imbalan dari manusia atau pun sekedar ucapan terima kasih dari mereka. Karena Allah tidak menerima amalan kecuali yang ikhlas karena-Nya. Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan amalan seraya mempersekutukan Aku dengan selan-Ku maka Aku tinggalkan ia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Ibrahim telah membuktikan keikhlasannya dalam mengabdi kepada Allah. Dia rela dimusuhi dan diusir oleh kaumnya demi mendakwahkan tauhid. Beliau pun meninggalkan mereka dan sesembahan-sesembahan mereka selain Allah maka Allah pun menggantikannya dengan yang lebih baik berupa anak keturunan yang diangkat sebagai nabi. Sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadits, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah maka Allah pasti akan menggantikan untuknya sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad)

Salah satu sifat mulia yang dimiliki Ibrahim ‘alaihis salam dan diperintahkan untuk kita ikuti adalah berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Sebagaimana dikisahkan ucapan mereka (yang artinya), “…Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa-apa yang kalian seru selain Allah, kami ingkari perbuatan kalian, dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah : 4)

Inilah salah satu sifat mendasar di dalam agama Islam yang wajib dimiliki setiap muslim. Seorang muslim yang sempurna imannya tidaklah mencintai sesuatu kecuali karena Allah dan tidak membenci sesuatu kecuali karena Allah. Oleh sebab itu cinta dan benci karena Allah menjadi simpul keimanan yang paling kuat dan paling kokoh. Kufur kepada thaghut dan iman kepada Allah; inilah kandungan makna dari kalimat tauhid laa ilaha illalah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang paling kuat/kalimat tauhid, dan tidak akan terputus…” (al-Baqarah : 256)

Islam -sebagaimana sudah dijelaskan oleh para ulama- mencakup kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Oleh sebab itu di dalam surat al-Kafirun kita diperintahkan untuk dengan tegas mengatakan kepada orang-orang kafir (yang artinya), “Aku tidak menyembah apa-apa yang kalian sembah, dan kalian juga tidak menjadi penyembah sesuatu yang aku sembah.” Hal itu disebabkan ibadah kaum musyrik telah tercampuri dengan syirik dan kekafiran sehingga tertolak di hadapan Allah.

Ibadah kepada Allah -sebesar dan sebanyak apapun- apabila disertai dengan ibadah kepada selain Allah maka hal itu akan menjadi sia-sia dan sirna bahkan mendatangkan malapetaka bagi pelakunya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa mereka melakukan yang sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104). Salah satu bagian dari yang dimaksud ayat ini adalah kaum musyrikin.

Inilah ajaran yang diperintahkan untuk disampaikan kepada umat oleh setiap rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65). Allah juga berfirman tentang keadaan kaum yang salih lagi bertakwa (yang artinya), “Seandainya mereka melakukan syirik pasti akan terhapus dari mereka apa-apa yang telah mereka lakukan.” (al-An’aam : 88)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya; ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah kecuali Dzat yang telah menciptakanku…” (az-Zukhruf : 26) 

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa untuk merealisasikan tauhid seorang hamba harus berlepas diri dari syirik dan pelakunya, tidak bergabung bersama gerakan dan gaya hidup mereka. Karena seorang itu berada di atas agama teman yang dicintainya, oleh sebab itu hendaklah setiap kita memperhatikan dengan siapa dia berteman dekat. Inilah prinsip dan kaidah yang sudah diisyaratkan oleh al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha Suci Allah, aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Yusuf : 108)

Demikianlah teladan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para rasul dalam berdakwah, yaitu menjauhi segala bentuk kemusyrikan dan berlepas diri darinya, bukannya malah berdekat-dekat dengan perayaan kaum musyrikin dan mengucapkan selamat atas kekafiran mereka.

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pada masa sekarang ini, ada jama’ah-jama’ah yang mengaku bahwa mereka adalah da’i-da’i menuju agama Allah, namun mereka tidak berlepas diri dari kaum musyrikin selama mereka berada dalam manhaj hizbi yang mereka miliki!! Hal yang wajib bagi seorang muslim adalah bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan apabila ingin berdakwah kepada agama Allah hendaklah dia mengerti apakah hakikat dakwah itu, apa saja pokok-pokok dakwah, apa yang dituntut pada diri seorang da’i, sebagaimana jalan yang telah ditempuh oleh Ibrahim ‘alaihis salam dan para nabi yang berlepas diri dari kaum musyrikin dan memutuskan loyalitas dengan mereka.” (lihat I’anatul Mustafid [1/106])

Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka dia akan terseret dalam kelompok mereka, sebagaimana telah disabdakan oleh nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tasyabuh/meniru-niru sikap hidup dan cara berpenampilan secara lahiriah akan membawa tasyabuh dalam hal yang bersifat batin dan keyakinan.

Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an Allah menyebutkan salah satu sifat ibadurrahman adalah tidak ikut menghadiri az-zuur/kepalsuan, dan para ulama menafsirkan az-zuur diantara bentuknya adalah perayaan-perayaan agama kaum kafir. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak ikut serta menyaksikan az-zuur/kedustaan.” (al-Furqan : 72).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah membawakan tafsir istilah az-zuur ini, diantaranya mencakup; syirik dan pemujaan berhala, kedustaan, kekafiran, dan kefasikan. Ia juga meliputi segala bentuk kesia-siaan dan nyanyian. Abul ‘Aliyah, Ibnu Sirin dan yang lainnya menjelaskan bahwa salah satu cakupan makna az-zuur itu adalah hari raya orang-orang musyrik. Termasuk di dalam kandungan ayat ini juga adalah tidak menghadiri majelis peminum khamr/miras (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/33])

Berbuat Baik kepada Orang Kafir

Allah tidak melarang kaum muslimin berbuat baik kepada orang kafir dan berlaku adil kepada mereka -dan berbuat adil itu wajib hukumnya- selama mereka tidak mengusir kita dari negeri-negeri kita, dan tidak memerangi kita secara fisik karena agama. Bahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan teladan berbuat baik kepada tetangga yang beragama Yahudi, bahkan berbuat baik kepada kaum musyrik, kafir dan munafik dalam rangka mendakwahi mereka. Namun hal itu bukan berarti kita mencintai kekafiran mereka. Kita ingin mereka mendapatkan hidayah oleh sebab itu kita diperintahkan untuk mendakwahi mereka ke jalan Allah yang lurus ini dengan penuh hikmah, nasihat yang baik dan jika perlu berdebat dengan cara yang lebih baik.

Islam tidak membenarkan tindakan pembunuhan orang kafir yang telah terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid/yang terikat perjanjian maka dia tidak akan mencium baunya surga pada hari kiamat…” (HR. Bukhari). Islam juga tidak membenarkan perbuatan bom bunuh diri dan merusak fasilitas umum apalagi meledakkan gedung yang mengakibatkan melayangnya jiwa tidak bersalah. Karena sesungguhnya menyingkirkan gangguan dari jalan itu pun bagian dari keimanan, sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tebarkan Rahmat kepada Manusia

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang penyayang maka akan disayang oleh ar-Rahman. Sayangilah para penduduk bumi niscaya Dzat yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, disahihkan al-Albani. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 4941)

Di dalam hadits ini disebutkan nama ar-Rahman. Hal ini menunjukkan bahwa kita wajib mengimani  nama-nama Allah. Salah satu nama Allah itu adalah ar-Rahman. Di dalam nama ini terkandung sifat rahmat/kasih sayang yang sempurna. Sampai-sampai disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah ‘jauh lebih penyayang kepada hamba-Nya daripada kasih sayang seorang ibu kepada bayinya’ (HR. Bukhari dan Muslim). Selain itu di dalam nama ar-Rahman juga terkandung sifat rahmat Allah yang maha luas. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan rahmat-Ku maha luas mencakup segala sesuatu.” (al-A’raaf : 156). Allah juga mengisahkan doa para malaikat bagi kaum beriman (yang artinya), “Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu yang meliputi segala sesuatu.” (Ghafir : 7) (lihat al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 10) 

Inilah salah satu manhaj/metode yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah. Mereka mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak (ta’thil) dan tanpa menyerupakan (tamtsil). Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.” (asy-Syura : 11). Sehingga di dalam nama ar-Rahman terkandung sifat rahmat/kasih sayang. Kita wajib menetapkan bahwa sifat itu ada pada diri Allah. Tidak boleh kita selewengkan makna rahmat menjadi irodatul in’am/kehendak untuk mencurahkan nikmat atau kehendak memberikan kebaikan (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 15 oleh Syaikh Abdullah al-Qar’awi)

Nama ar-Rahman menunjukkan kasih sayang Allah yang maha luas mencakup seluruh makhluk, baik orang yang beriman maupun orang kafir. Rahmat Allah bagi kaum beriman adalah dalam bentuk pemberian taufik kepada mereka untuk mengikuti kebenaran, meniti jalan yang lurus, dan lain sebagainya. Adapun rahmat untuk mereka di akhirat adalah Allah masukkan mereka ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan Allah selamatkan mereka dari neraka. Rahmat Allah bagi orang kafir di dunia adalah dengan diberikannya kesehatan, makanan, minuman, dsb. Adapun di akhirat rahmat itu berupa keadilan dalam hal hisab dan balasan untuk mereka (lihat al-Lubab fi Tafsiril Isti’adzah wal Basmalah wa Fatihatil Kitab, hal. 99)    

Di dalam hadits ini juga ditegaskan bahwasanya Allah berada di atas langit. Dalam al-Qur’an Allah berfirman (yang artinya), “Apakah kalian merasa aman dari -hukuman- Dzat yang ada di atas langit.” (al-Mulk : 16). Para ulama menjelaskan bahwa kata samaa’ di dalam ayat tersebut bisa bermakna al-‘uluww yaitu tinggi. Sehingga maknanya adalah Allah itu maha tinggi. Bisa juga samaa’ dimaknakan dengan tujuh lapis langit, maka maknanya adalah Allah berada di atas itu semuanya. Oleh sebab itu pernyataan ‘Allah di atas langit’ bukanlah berarti Allah berada di dalam langit. Karena langit adalah makhluk Allah dan Allah tidaklah menempati pada sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Tidak ada pada makhluk sedikit pun bagian dari Dzat-Nya, dan tidak ada pada-Nya sedikit pun bagian dari makhluk-Nya. Akan tetapi Allah terpisah dari makhluk-Nya. Maka di dalam ayat itu terdapat bantahan bagi kaum Jahmiyah dan Mu’aththilah yang mengatakan bahwasanya Allah tidak boleh disifati berada di ketinggian/di atas, mereka juga mengatakan bahwa Allah tidak berada di luar alam dan tidak juga di dalam alam. Konsekuensi pendapat mereka adalah Allah itu tidak ada; karena Dia tidak ada di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Selain itu, ayat ini juga berisi bantahan bagi kaum Hululiyah (paham Wahdatul Wujud) yang menyatakan bahwa Allah itu ada pada segala sesuatu. Maha tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 94)  

Di dalam hadits di atas juga terkandung perintah untuk menebarkan kasih sayang kepada sesama. Dalam hadits lainnya dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barangsiapa tidak menyayangi manusia maka Allah tidak akan menyayanginya.” Dalam riwayat Thabarani disebutkan dengan redaksi, “Barangsiapa tidak menyayangi yang ada di bumi maka Yang ada di atas langit tidak akan menyayanginya.” Dalam riwayat Thabarani dari Ibnu Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayangilah yang di bumi niscaya Yang di atas langit akan menyayangimu.” al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa para periwayatnya tsiqah/terpercaya (lihat Fat-hul Bari, 10/541)

Bahkan kasih sayang ini tidak terbatas pada manusia. Hewan pun harus diperlakukan dengan kasih sayang. Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Sahih-nya dengan judul ‘Rahmat kepada manusia dan binatang-binatang.’ Salah satu dalil yang beliau bawakan -selain hadits di atas- adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang menanam sebatang pohon/tanaman kemudian dimakan buah/hasilnya oleh manusia atau pun binatang kecuali hal itu akan dicatat sebagai sedekah baginya.” (HR. Bukhari) (lihat Fat-hul Bari, 10/539)

Salah satu bentuk rahmat/kasih sayang yang ditebarkan itu adalah berupa dakwah dan ilmu. Pada bagian awal risalah Ushul Tsalatsah atau Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-…” Syaikh Shalih alu Syaikh menerangkan, bahwa doa ini mengandung faidah bahwasanya ilmu ditegakkan di atas landasan kelembutan dan kasih sayang kepada segenap penimba ilmu. Para ulama menyatakan bahwa ilmu dibangun di atas sifat kasih sayang. Buahnya adalah tersebarnya rahmat di dunia dan tujuan akhirnya adalah rahmat di akhirat. Perkataan beliau ‘Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-..’ menunjukkan bahwa pengajaran ilmu itu dibangun di atas jalinan kasih sayang (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah, hal. 12-13)

Bentuk lain dari kasih sayang itu adalah dengan memberikan makan dan membantu kesulitan saudaranya sesama muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung keterangan bahwa semestinya seorang muslim berusaha mengerahkan kemampuannya demi kebaikan saudaranya sebagaimana apa yang dicurahkannya demi kebaikan dirinya sendiri. Maka tidak boleh dia merasa kenyang sementara tetangganya kelaparan…” (lihat Minhatul Malik, 1/83)

Termasuk bentuk kasih sayang itu juga adalah dengan menyebarkan dakwah tauhid, berusaha menyingkirkan gangguan atau kotoran dari jalan, dan memelihara sifat malu terlebih lagi pada masa dimana banyak manusia -terutama kaum wanita- yang telah kehilangan rasa malunya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Besarnya Kasih Sayang Allah

Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu nama Allah adalah ar-Rahman yang bermakna pemilik rahmat yang sangat luas (lihat Tafsir Juz ‘Amma oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, hal. 15)

Imam Ibnul Qayim rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam nama ar-Rahman terkandung sifat-sifat Allah yang sangat mulia yaitu berbuat ihsan/kebaikan, dermawan, dan melakukan kebajikan (lihat dalam adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir, 1/27)

Bahkan, apabila kita mencermati kandungan faidah dari nama ar-Rahman ini -yaitu besarnya rahmat Allah kepada manusia- niscaya kita akan memahami bahwasanya konsekuensi paling utama kasih sayang Allah itu adalah tidak menelantarkan hamba, dan itu terbukti dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Perhatian Allah terhadap hal itu jauh lebih besar daripada perhatian-Nya kepada manusia dalam bentuk menurunkan hujan dan menumbuhkan tanam-tanaman. Karena sifat kasih sayang Allah yang ‘memberikan lahan’ hidupnya hati dan ruh tentu lebih agung daripada manifestasi kasih sayang Allah yang menjadi sebab hidupnya badan jasmani manusia (lihat dalam adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir, 1/38-39)

Salah seorang ulama salaf Abdullah ibnul Mubarok rahimahullah menafsirkan, “ar-Rahman artinya jika Dia dimintai niscaya Dia akan memberikan, sedangkan ar-Rahim adalah jika Dia tidak dimintai maka Dia akan murka.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/125)

Hal ini mengisyaratkan bahwa rahmat Allah itu sangatlah luas meliputi siapa saja. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Dan rahmat-Ku maha luas meliputi segala sesuatu.” (al-A’raaf : 156). Karena pada dasarnya Allah adalah pemilik sifat kasih sayang; inilah yang disebut oleh para ulama dengan sifat dzatiyah. Maknanya sifat kasih sayang Allah itu selalu melekat pada diri-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan Rabbmu Yang Maha Pengampun Sang Pemilik Kasih Sayang.” (al-Kahfi : 58).

Dan di sisi lain, Allah memiliki kehendak untuk memberikan kasih sayang-Nya itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan inilah yang disebut para ulama dengan istilah sifat fi’liyah. Artinya akan ada sebagian hamba yang Allah jatuhkan azab dan ada pula yang diberikan rahmat-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Allah menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan rahmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (al-‘Ankabut : 21). (lihat al-Lubab fi Tafsir al-Isti’adzah wal Basmalah wa Fatihatil Kitab, hal. 94-96)

Hal ini menunjukkan bahwasanya rahmat Allah itu pun mencakup orang-orang kafir. Diantara bentuk rahmat Allah kepada mereka adalah dengan menunda hukuman/adzab untuk mereka -agar mereka punya kesempatan untuk bertaubat- dan Allah pun tetap memberi rezeki dan kesehatan kepada mereka -agar mereka mau tunduk bersyukur dan mentauhidkan-Nya- meskipun di saat yang sama mereka justru berbuat syirik dan kekafiran kepada-Nya (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, hal. 57)

Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut turunnya air hujan adalah disebabkan sifat rahmat dan kasih sayang Allah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan ketika turun hujan maka hamba-hamba Allah yang beriman mengatakan, “Kami diberikan hujan dengan keutamaan dari Allah dan rahmat dari-Nya.” 

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Turunnya air hujan merupakan salah satu pengaruh dan dampak dari sifat rahmat Allah sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Maka perhatikanlah kepada bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi setelah kematiannya.”.” (lihat I’anatul Mustafid, 2/41)

Apabila keringnya bumi ini tanpa tetesan hujan akan menjadi sebab rusaknya kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lainnya maka tentu saja keringnya hati manusia tanpa curahan hidayah dari Allah adalah sebab rusaknya jiwa dan perilaku umat manusia. Oleh sebab itulah Allah berikan hidayah kepada manusia dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing mereka kepada jalan yang benar; jalan yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dan keselamatan yang sesungguhnya.

Karena itulah Allah menyebut al-Qur’an membawa rahmat dan Allah menyebut diutusnya rasul sebagai rahmat. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menebarkan rahmat kepada sesama penduduk bumi supaya Allah Dzat yang di atas langit sana merahmati kita… Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sang uswah hasanah/teladan terbaik kita pun telah memberikan contoh bagaimana menebarkan rahmat Allah itu dengan mendakwahkan tauhid dan keimanan kepada umat manusia; karena inilah sebab kebahagiaan hidup mereka!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun mendengar kenabianku diantara umat ini apakah dia beragama Yahudi atau Nasrani kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti akan termasuk golongan penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Dengan demikian diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan nikmat yang sangat besar bagi umat manusia. Diutusnya para rasul kepada manusia adalah bukti kasih sayang Allah kepada mereka. Seandainya Allah tidak menyayangi mereka tentu Allah tidak akan membangkitkan para rasul untuk mengajak mereka bertauhid dan beriman kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Oleh sebab itu sungguh indah perkataan Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam salah satu mukadimah risalahnya Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama), “Bahwasanya Allah telah menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita, dan Allah tidak meninggalkan kita dalam keadaan sia-sia/terlantar. Akan tetapi Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul -yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-; barangsiapa taat kepadanya niscaya dia masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadanya akan masuk neraka…”

Demikian sedikit catatan yang bisa disajikan, semoga bermanfaat.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-29/